Rabu, 28 Oktober 2009

PILIHAN BUAH APEL


Ketika Adam memutuskan untuk memakan buah kuldi/apel atas bujukan Hawa/Eve (betulkah atas bujukan Hawa?). Adam sadar betul bahwa ia telah mengambil pilihan yang beresiko.

Buah kuldi adalah simbol pengetahuan. Adam secara sadar memilih ilmu pengetahuan dengan resiko terlempar dari firdaus. Ignorance is a happiness, ketidaktahuan adalah kebahagiaan. Terlempar dari kebahagiaan abadi karena memilih untuk memiliki kehendak bebas..

Adam memilih untuk memakan buah kuldi karena ia ingin mengetahui rahasia tuhan. Rahasia mengapa Ia menciptakan kita, mahluk dengan kesadaran dan pilihan-pilihan serta apa yang akan terjadi dengan pilihan-pilihan yang kita ambil.

Dan kita telah mewarisi pilihan leluhur kita. Kita memilih untuk memiliki kehendak bebas. Kita diberi warisan untuk bebas mempertanyakan segala hal termasuk mempertanyakan apakah kebenaran yang kita yakini juga betul-betul kebenaran. Kita juga diberi pilihan untuk hidup sesuai pilihan kita dengan segala resikonya. termasuk resiko terlempar dari firdaus.

Seandainya kita dalam posisi Adam saat itu, apakah kita akan memilih memakan itu buah kuldi? Ataukah kita akan membiarkannya menjadi rahasia abadi.

(Sumardiono, dalam pilihan-pilihan)

Minggu, 25 Oktober 2009

BAHASA INGGRIS, PREDATOR PERADABAN?


Teman fesbuk baruku Kaum Kiri mengikrarkan untuk secara ’tidak terpaksa’ melawan bahasa Inggris demi nasionalisme. Dia beranggapan bahasa Inggris adalah predator peradaban yang harus dienyahkan. Tentu karena ia mencintai peradaban tempat kita hidup ini. Begini pendapat saya:

Betul Bung. Bahasa adalah sebuah politik identitas. Ia merupakan penenda ideologi dan status sosial bagi yang memakainya. Juga simbol berkuasanya peradaban yang melahirkan bahasa itu. Jadi ini hanya masalah siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai. Dan sejarah telah berpihak pada peradaban barat, sebagian kita menyebutnya peradaban modern, yang membuktikan bahwa peradaban barat dengan segala perangkatnya telah menjadi pemenang dalam panggung kehidupan modern.Apapun persepsi kita tentang itu toh ini hasil kesepakatan sejarah bahwa kita tidak mempunyai pengetahuan dan teknologi, dua mantra paling ampuh dalam peradaban tempat kita hidup ini, yang mampu menyihir dunia dan membuat kita semua bertekuk lutut.


Kita selalu bersikap mendua, benci tapi rindu,ketika berhadapan dengan peradaban barat. Kita membenci hegemoni dan kecongkakan mereka tapi kita juga cinta mati dengan buku-buku yang mereka tulis, film-film yg mereka buat, lagu-lagu yang mereka ciptakan.

Kita tentu tidak perlu mengambil sikap "buruk rupa cermin dibelah". Kita hanya bisa membuat counter culture, tanpa perlu menjadi "anjing menggonggong" dan " kafilah tetap berlalu". Menjadi 'anjing menggonggong' memang lebih mudah daripada menjadi' kafilah' yang tekun dan teguh pendirian. Tugas kita adalah memuliakan culture kita sendiri bukan memaksa orang lain menganggapnya demikian.
Ini jelas bukan tugas yang mudah Bung, it is not an easy business as usual.

Bahasa ‘hanyalah’ sebuah gejala dari sebuah culture tertentu. Melawan bahasa untuk menandingi culture yang ada di belakangnya sama saja dengan seseorang yang menyembuhkan sakit kepala yang menahun dengan sebutir aspirin saja, tanpa menyadari bahwa ada kangker ganas yang bersarang di kepalanya dan harus dienyahkan dengan obat yang lebih tepat. Jadi yang perlu dilakukan bukan menghilangkan gejalanya yang tampak tapi bagaimana mengetahui akar permasalahannya. Yaitu menyadari bahwa kita harus menguasai sains dan tehnologi. Yak karena dua hal itulah yang menjadi mesin penggerak peradaban. Siapapun yang menguasainya dialah yang akan menjadi pemimpin peradaban yang diikuti segala gaya hidupnya, perilakunya, seleranya bahkan cara bicaranya yang tak lain adalah bahasa.


Bagi saya dan siapapun yang belajar English, menguasai bahasa ini bukanlah simbol ketertindasan kita atas mereka, tapi justru kecerdasan strategi kita dalam ikut mengendalikan peradaban ini. Karena dengan bahasa inilah kita memahami mekanisme dan kekuatan-kekuatan yang mengendalikan peradaban modern, cara kita menghadang dan melakukan perlawanan terhadap dominasi kultur barat.



Saya bisa dan memahami English tapi saya juga bisa berbahasa Indonesia dengan lancar dan berbahasa Jawa dengan lumayan baik. Saya lebih memilih menjadi manusia bertopeng barat tapi berhati Jawa. Barat dalam pengertian pola pikir dan wawasan, Jawa dalam sikap dan perilaku. Pripun Bung? Kita satu tujuan tapi beda cara?

Rabu, 21 Oktober 2009

TAWANGMANGU, A Day in Tawangmangu















..

























Tawangmangu, here we come. This will be an unforgetable moment for us, teachers and students of FKIP. Hope we will get unforgetable and sweet moment for the rest of the days , weeks, months and years in the university. Just like the day we have here..



Baru kali ini ada acara pengakraban mahasiswa baru dosen dilibatkan dalam permainan. Seru, menyenangkan dan bikin akrab...sekaligus tentu dipermalukan..hehehe. Acara dimulai dengan upacara pembukaan setelah menempuh perjalanan dengan bis, tanpa AC nih, selama kurang lebih 45 menit.

Upacara berlangsung lancar, ada sedikit-sedikit kacau sih. Hehe..maklum lama pada tidak mengikuti upacara jadi nyanyi Indonesia Raya saja agak belepotan gitu. Selesai upacara, makan pagi dengan menu nasi goreng sudah menanti. Trus, jelas jeprat-jeppret melanjutkan bakat narsis yang dah dimulai sebelum berangkat sampai di dalam bis. Ya, narsisme memang meraja lela di mana-mana. Tidak dosen, tidak mahasiswa sama saja. Acara dilanjutkan pemaparan akademik oleh dekan dan tentu perwakilan dari rektorat. Tentu didahului dengan perkenalan dosen oleh dekan.

Dengan dibumbui acara "dipermalukan"tentunya."Bu Fenti ini spesialis ngemci, siapa yang mau menikah silahkan menyewa, Bu Anita S Pd alias sarjana penyanyi dangdut, Pak Yudis, dosen paling berbobot ...Pak Dion, yang ini spesialis penyanyi pengusir tamu, begitu menyanyi tamu pada bubar..hahaha". Hehe piss Pak Toyo. Berikutnya..masih bla bla ba. Untung pas acara prodi untuk yang prodi Bahasa Inggris kita ajak mahasiswa bernyanyi. Nah di sini Pak Yudis mulai menunjukan bakatnya..hahaha. Bergoyang heboh... astaga Pak Yudis, baru tahu lho profesi sampingannya haha.

Acara makan siang dengan menu sayur sop dengan perkedel..ya cukup melegakan. Berikutnya pembentukan kelompok. Kita merancangnya tidak dengan mudah. Semua peserta, termasuk dosen harus menyanyikan lagu dalam lintingan kertas dan harus menemukan peserta lain yang menyanyikan lagu yang sama. Suwe ora jamu....jamu ora suwe,...Bengawan Solo..riwayatnya..., Maju tak gentar... lalala. Meski dengan suara fals semua berhasil menemukan kelompoknya masing-masing. Jadilah semua dosen dan mahasiswa terlibat dalam kelompok. Membuat yel-yel. Trus masing-masing kelompok memperagakan yel-yelnya... semua tampil sebagus mungkin dan tentu berani malu...

Acara suster ngesot cukup menghibur, dilanjutkan role play. Sayang kita sudah harus di bis jam 4.30 jadilah acara berikutnya tergesa-gesa. Acara diakhiri pemilihan panitia terbaik, terlemot, tergalak. Dan tentu saja dosen terkreatif, terheboh, tergokil. terheboh dan trgokil jelas disabet Pak Yudis.. hehehe , selamat ya Pak..hahaha. Tapi kok terkreatif jatuh ke saya sendiri hehehe . Apa ndk salah tuh..huhuhu. Maklum, kan saya memang beken..hehehe, pisss. Selamat tinggal Tawang Mangu... Suwe ora jamu.., jamu ora suwee..Yuuu

Jumat, 16 Oktober 2009

LAGU PENGUSIR TAMU, Acara Penglepasan Wisudawan









Sampai jam dua belas malam kami masih harus menata banyak hal di restaurant Wisma Boga Solo Baru. Menata urutan vandel. Menata nomor kursi dan nama wisudawan pada kursi yang akan ditempati . Dosen kok malah ganti peran jadi tenaga serabutan ya.. .haha. Keringat mengucur... Dehidrasi nih... Kehausan di ruang yang pendinginnya tidak dinyalakan itu. Akhirnya keluar cari air minum. Tapi sampai keluar jauh dari restauran tidak ada penjual , ada toko yang masih buka tapi sayang aquanya tidak dingin. Kelaparan dan kehausan, dari pagi di kampus rapat, mengajar trus midodareni lagi, istilah kami untuk lembur sampe larut menyiapkan untuk acara esok hari. Terpaksa deh sendirian masuk kedai susu Shi Jack. Hehehe, yang lain pada kerja, saya pesen es teh manis, pisang owol keju, tambah lagi es teh tawar, tambah lagi sate ayam, hahaha maruk banget. Delapan ribu lima ratus rupiah untuk semua yang melegakan kerongkongan dan perut. Yah, Solo memang tempat yang murah untuk jajan-jajan. Kembali ke tempat, eh ternyata Pak Ketua, yang dari tadi menghilang, membawa fress tea dingin plus kacang dan temen-temennya. Pulangnya kita masih mampir di nasi liwet pinggir jalan. Ini makan saur namanya. Tapi untunglah Pak Ketua seperti biasa mengeluarkan joke-joke joroknya. Jadilah kita terpingkal-pingkal di pinggir jalan sampe di dalam mobil pulang ke kampus.

Paginya kita sampe ditempat sebelum jam tujuh. Ternyata ada juga wisudawan dan keluarganya yang sudah datang. Kita foto-foto dengan calon wisudawan yang dulu diajar. Narsisme memang meraja lela di mana-mana hehe. Bala bla bla... akhinya acara dimulai jam 8.45. Semua lancar sudah termasuk nyambi ngetik program run down untuk acara kerapmaru. Sambil menyelam minum susu.

Saya dengan Bu Fenti seperti biasa selalu dikutuk jadi MC hehehe. Tapi kenapa ya tamu undangan sebanyak hampir enam ratus orang ribut melulu. Kita sampai terganggu pada waktu memanggil calon wisudawan satu persatu untuk menerima vandel dan ucapan selamat dari dekan dan ketua prodi.

Acara prosesi selesai, giliran berikutnya, hiburan. Mas Catur, organ tunggal langganan kami, memainkan musik mengiringi penyanyi bawaannya. Pak Dekan seperti biasa menyumbangkan suara ”emas”nya. Maaf Pak...hehehe. Akhirnya yang 'ditunggu-tunggu, datang.... saya dipanggil Mbak Nonik, penyanyi yang menghandel sesi hiburan, untuk maju ke panggung. Blaik...!!!Hehehe deg-degan. Tapi biasa tetep pede abis. Di atas panggung, ”Terimakasih, sebuah lagu Nuansa Bening. Lagu ini untuk para tamu undangan yang berbahagia, calon wisudawan terutama dari prodi Bahasa Inggris”. Musik mengalun....lho di mana suara harus masuk. Kok musiknya beda dengan musik aslinya. Waduh blaik..... mik dipegang, suara masuk. Lho kok suara tidak terdengar...wah... kacau. Hahaha, begitu turun panggung satu-persatu tamu kabur....

Ya ternyata lagu terakhir adalah lagu pengusir tamu. Semua teman terpingkal-pingkal ketika ditanya, ”Bagaimana lagu saya tadi?”. ”Bagus Pak, pede abis..hihihi”. ”kacau Pak, nada semua meleset...hehehe”..... Dasar penyanyi amatiran...hahaha

Sabtu, 10 Oktober 2009

WURYANINGRATAN, Perjalanan Melintasi Waktu





















Berkunjung ke Ndalem Wuryaningratan serasa melakukan perjalanan melintasi waktu. Rumah bangsawan Jawa tempo dulu yang sekarang menjadi bagian dari House of Danar Hadi ini memberi gambaran sangat jelas kepada kita tentang bagaimana bangsawan Jawa memilih gaya hidupnya, menunjukan simbol-simbol status sosialnya dan kiblat kultural mana yang menjadi orientasi kebangsawanannya.

Saya bersama beberapa mahasiswa desain komunikasi visual mengunjungi rumah tua tetapi mewah ini hari Sabtu 10 Oktober kemarin. Kegiatan ini dalam rangka object knowledge untuk materi description. Tentu sekaligus sedikit mendalami sejarah kultural kota Solo, di samping tempatnya memang asik untuk foto-foto. Cocok untuk mengekspresikan hasrat narsis kita.... sambil menyelam minum susu hehehe...

Sama seperti rumah bangsawan Jawa pada umumnya. Nama Wuryaningratan diambil dari nama pemilik asli rumah ini, Pangeran Wuryaningrat, menantu Paku Buwono X. Di Solo kita masih bisa menyaksikan rumah-rumah bangsawan lainnya seperti Ndalem Brotodiningratan, Ndalem Cokrosumartan dan sebagainya meskipun kondisinya tidak seterawat Ndalem Wuryaningratan ini.

Rumah ini dari luar tampak sangat Eropa. Tembok bangunan dengan garis-garis dekoratif mengacu pada gaya klasik Eropa. Taman halaman depan dengan pohon-pohon besar, pohon mangga tali jiwo, mengingatkan kita pada bangunan-bangunan kolonial peninggalan penjajahan Belanda. Konon mangga tali jiwo mangga terenak kala itu sebelum era mangga arum manis dan mana lagi tentu. Rumah tua yang tampak mewah terlihat dari Jalan Slamet Riyadi Solo ini memiliki dua pintu gerbang dengan gaya klasik Eropa juga, di sisi kanan bangunan terdapat beberapa paviliun yang dulunya tempat untuk menyimpan kereta dan kuda milik pangeran Wuryaningrat. Sekarang ini digunakan sebagai pos satpam dan ruang lain. Sementara pada bagian kanan ada sebuah paviliun yang terletak sejajar dengan pusat bangunan, tidak seperti pavilium sebelah kanan. Sayang, pavilion kiri yang konon dulu tempat berkumpul para pendiri Budi Utomo itu kini telah mengalami banyak perubahan dan dialihfungsikan menjadi resto dengan nama Soga Resto and Lounge. Wah yang ini baru. Beberapa kali kunjungan kami sebelumnya belum ada. Paduan masa lalu dan masa kini. Semoga saja pengelolanya pandai-pandai mengerem agar kepentingan komersial ini bisa berdampingan secara harmonis dengan konservasi heritage

Gaya Eropa pada arsitektur rumah bangsawan ini mencerminkan bahwa para bangsawan Jawa termasuk para rajanya, terutama raja-raja Jawa trah Mataram Islam sangat mengacu pada kultur Eropa, tidak seperti raja-raja di Sumatra yang lebih mengacu ke Timur Tengah. Hampir semua raja Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta sebelum masa kemerdekaan menempuh pendidikan di Belanda. Tidak mengherankan kan kalau mereka sangat berorientasi Eropa? Ini sangat terekam dari cara mereka mendesain rumah. Barangkali gaya hidup mereka di masa lalu juga.

Meski dari luar rumah ini berbau Eropa, apabila kita masuk di dalamnya kita akan tahu bahwa tata ruang rumah ini sangat Jawa. Bagian bangunan paling depan berupa pendopo, diawali topengan, tempat turun kereta bagi para tamu agung, sangat khas Jawa, yang berfungsi sebagai ruang publik. Ruang terbuka paling luas dalam tata ruang rumah tradisional Jawa ini biasanya dipakai para priyayi masa lalu ini untuk melangsungkan upacara-upacara ritual kehidupan seperti pesta pernikahan, tetakan/khitanan dan sebagainya. Lain dengan rumah modern yang tidak menyisakan sedikitpun ruang untuk berbagi dengan komunitas sosial di luar mereka. Sayang, di Ndalem Wuryoningratan, pendopo ini sudah ditutup dengan pintu-pintu kaca. ”Biar debu tidak masuk dan mengotori mebel di dalamnya” kata Mas Yanuar, guide kami dalam kunjungan itu. Di samping kanan kiri pendopo ada kamar kecil yang disebut dimpil dalam bahasa Jawa. Ruangan ini biasa digunaakan sebagai ruang tamu atau kantor sang pangeran. Di belakang pendopo terdapat ruang utama yang disebut ndalem ageng. Di sini terdapat krobongan yang merupakan simbol keluarga Jawa yang agraris. Di tempat ini disimpan pusaka keluarga dan patung Loro Blonyo, simbol Dewi Sri. Dewi kesuburan dalam mitologi Jawa. Di samping kanan dan kiri, masih di bangunan utama, terdapat teras atau gandok/nggadri dalam bahasa Jawa. Tempat santai di pagi atau sore hari untuk keluarga bangsawan pada masa itu. Di sebelah kanan dan kiri bangunan utama terdapat deretan bangunan berupa kamar-kamar kecil berjejer. ”Ini tempat dulu para bangsawan itu menyimpan segala macam peralatan upacara seperti gamelan, barang pecah belah dan sebagainya. Tentu jaman itu kan belum ada persewaan alat pesta apa lagi katering hehe”, jelas Bu Asti pada kesempatan kunjungan sebelumnya.

Rumah ini juga dindingnya dipenuhi potret-potret para penghuninya di masa lalu dan keluarga pemiliknya sekarang. Sebuah cara berekspresi khas para bangsawan di manapun untuk menunjukan identitas geneologis mereka. Halaman belakang dan sampingg ndalem yang luas ini juga ditata sangat apik. Katanya sih pemiliknya sendiri yang mendesain landscape ini. Duduk-duduk di kursi teras belakang sambil memandang pohon-pohon mangga tua serasa mengalami de javu masa lalu. Masa ketika bangsawan adalah status sosial yang membanggakan.

Lewat perpaduan dua gaya ini, arsitektur Eropa tata ruang Jawa, bangsawan Jawa seakan ingin mengukuhkan citra dirinya bahwa mereka adalah para priyayi Jawa kalangan atas. Ya, pada waktu itu tentu, jangan-jangan sekarang masih juga, Eropa adalah simbol peradaban yang maju dan acuan identitas yang melekat padanya mencitrakan golongan masyarakat kelas atas. Siapa saja yang ingin dianggap demikian tentu harus mengikuti identitas ini. Ya, samalah seperti kita memakai jeans, mendengarkan musik barat, mengkonsumsi Pizza atau KFC biar kelihatan modern tanpa memahami makna filosofi peradaban yang melekat bersamanya.

Melihat Ndalem Wuryaningratan dan menyusuri ruang-ruang dan lorong-lorong di dalamnya seakan melakukan perjalanan melintasi waktu. Di sana terekam gaya hidup masa lalu lengkap dengan simbol-simbol kebangsawanan serta orientasi mereka atas simbol-simbol status sosial masyarakat Jawa di masa itu. Di balik itu kita juga melihat bagaimana kekinian yang direpresentasikan oleh resto and lounge, sebuah jaman yang ada dibawah pengaruh ideologi besar yang bernama kapitalisme, berkelindan dalam satu ruang yang sama. Soga Resto and Lounge adalah sebuah representasi Jawa masa kini, kehidupan yang sama saja di manapun. Sebuah gaya hidup yang bepusat pada kegiatan mengkonsumsi demi sebuah citra diri. Entah itu kita butuhkan atau sekedar kita inginkan. Nyam nyam nyam... Mari mengunyah masa lalu dalam secangkir capucino di sebuah rumah bangsawan Jawa masa lalu..... Wuryaningratan