Minggu, 04 Oktober 2009

Karya Ilmiah, Ideologi Penerjemah (Translation)

IDEOLOGI PENERJEMAHAN DAN PENERJEMAHAN IDEOLOGI

(TEORI PENERJEMAHAN)

IDIOLOGI PENERJEMAH

SUMARDIONO

Linguistik Penerjemahan

Pasca Sarjana UNS-2007

Abstract

Ideology of translation is a believe upon correct and incorrect in translating to which a source text is suggested to be localized or foreignized. It comprises the idea of foreignisation and domestification. Translation of ideology refers to mediatin of target text of sensitive and ideologically-bound matter. It is the way interpreter intake his knowledge, ideology and belive to the target text

Pengantar

Bidang penerjemahan telah berkembang begitu cepat, melampaui cepatnya perkembangan bidang-bidang lain dalam ranah linguistik. Pada awalnya penerjemahan berkutat pada paradigma keakuratan dan keberterimaan untuk menilai apakah sebuah terjemahan “benar atau salah”. Pada akhirnya para pakar penerjemahan menyadari bahwa apa yang salah dan benar tidak semata-mata berada pada ranah linguistik saja. Apa yang benar dan salah ternyata lebih banyak ditentukan oleh sesuatu di luar disiplin penerjemahan itu sendiri. Penerjemahan kemudian memasuki wilayah ideologi, yaitu nilai dan norma serta keyakinan yang melandasi seorang penerjemah memutuskan apa yang harus dilakukan dengan teks terjemahannya.

Ketika berhadapan dengan teks-teks yang mengandung nilai-nilai atau paham tertentu penerjemah lagi-lagi menjadi pihak yang tidak bisa sepenuhnya “netral” dalam mempertahankan keakuratan. Hasil terjemahan akan selalu diwarnai pengetahuan, keyakinan serta nilai yang sudah tertanam dalam benar penerjemah. Hasil terjemahan kemudian akan mengalami mediasi, distorsi dan interferensi.

Atas dasar dua masalah di ataslah makalah ini akan membangun penjelasan singkat tentang ideologi penerjemahan dan penerjemahan ideologi. Pada bagian awal makalah ini penulis menjelaskan ideologi dalam pengertiannya yang umum. Berikutnya, dijelaskan pengertian ideologi penerjemahan beserta beberapa contoh kasus dan penjelasannya yang meliputi domestikasi dan foreignisasi. Penerjemahan ideologi dibahas dengan memberi beberapa contoh kasus dalam dunia penerjemahan. Penjelasan tentang makna dibalik kasus-kasus tersebut ikut pula menjadi bagian dari makalah ini.

Beberapa contoh kasus, terutama pada kasus domestikasi dan foreignisasi pernah dipakai penulis pada paper sebelumnya yang berjudul Lokalisasi dalam Penerjemahan.

Pengertian Ideologi

Menurut Eagleton dalam Koruobi (2008) ideologi adalah ide dan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasi kepentingan kelompok berkuasa melalui distorsi dan disimulasi. Pandangan seperti ini merupakan bagian dari kajian postcolonialism. Sebuah pendekatan kultural terhadap kajian relasi kekuasaan antar kelompok, budaya dan orang-orang di mana bahasa, kesusasatraan dan penerjemahan mengambil peran di dalamnya (Hatim dan Munday, 2004:106 ).

Meskipun ideologi sering dipahami secara sempit, sebagai bagian dari relasi kekuasaan yang diperebutkan, ideologi bisa juga dipandang dalam pengertian yang lebih positif sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan sebuah kelompok sosial dan bukannya sebagai alat untuk merebut kekuasaan dari pihak lawan.

Dalam bidang kajian bahasa, budaya dan penerjemahan, pengertian ideologi bisa diperluas di luar konteks politik dan didifinisikan secara bebas politik sebagai seperangkat ide yang mengatur kehidupan manusia yang membantu kita memahami hubungan kita dengan lingkungan kita (Karuobi, 2008:5).

Sementara menurut Hoed (2003) ideologi adalah suatu prinsip yang dipercayai kebenarannya dalam sebuah komunitas dalam sebuah masyarakat. Sedangkan menurut Hatim dan Mason (1997) ideologi adalah asumsi, keyakinan dan system nilai yang dimiliki secara kolektif oleh sebuah masyarakat atau kelompok sosial tertentu.

Masih menurut Karouby (2008), sebagian besar orang dalam komunitas penerjemahan masih menganggap ideologi dalam pengertiannya yang sangat sempit. Ideologi hanya dipahami pada konteks politik dengan konotasi peyoratifnya. Seorang penerjemah professional tidak akan terjebak dalam pengertian sempit ini. dia akan menempatkan dirinya pada posisi “di luar” atau bahkan “di antara” ideologi-ideologi tertentu.

Ketika berkaitan dengan penerjemahan, ideologi akan terlibat dalam dua domain; apakah ideologi penerjemahan atau penerjemahan ideologi. Makalah ini akan membahas ideologi dalam dua domain yang berbeda tersebut. Pada bagian awal, makalah ini akan membahas ideologi penerjemahan. Ini akan menyangkut dua hal, yaitu strategi lokalisasi atau domestikasi dan foreignisasi. Pada bagian berikutnya akan dibahas penerjemahan ideologi; bagaimana ketika seorang penerjemah berhadapan dengan teks terjemahan yang mengandung ideologi tertentu. Ideologi ini bisa sejalan dengan ideologi yang diyakini penerjemah, bisa juga berlawanan. Apa yang terjadi ketika penerjemah berhadapan dengan ideologi yang bertentangan dengan keyakinannya. Ada tiga kata kunci dalam hal ini; mediasi, distorsi dan interferensi.

Ideologi Penerjemahan

Ideologi penerjemahan dapat dirunut baik melalui proses maupun produk penerjemahan yang saling berkaitan. Ideologi penerjemahan menurut Tymoczko dalam Karoubi (2008) adalah kombinasi isi teks bahasa sumber dan beberapa speech act ysng ada pada teks bahasa sumber yang relevan dengan kontek bahasa sumber bersama dengan representasi isi, relevansinya dengan pembaca, dan beberapa speech act teks terjemahan yang menyangkut konteks bahasa sasaran serta ketidak seuaian antara keduanya, teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran. Lebih jauh lagi Tymoczko menjelaskan bahwa ideologi penerjemahan tidak sekedar terletak pada teks yang diterjemahkan tapi juga pada gaya dan pendirian penerjemah dan relevansinya dengan pembaca yang akan menikmati teks terjemahan.

Penjelasan Tymoczko di atas tampak rumit tapi ada beberapa kata kunci yang bisa kita tangkap dari penjelasan itu. Yang pertama adalah bahwa ideologi penerjemahan berkaitan dengan speech act/tindak tutur, jadi ideologi penerjemahan menyangkut bagaimana penyampaian tindak tutur pada teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran. Yang kedua adalah perbedaan. Ideologi penerjemahan penyangkut perbedaan representasi isi antara teks bahasa sumber dengan teks bahasa sasaran yang menyangkut relevansinya dengan pembaca.

Menurut critical discourse analysis, semua penggunaan bahasa adalah ideologis, jadi, sebagai pengguna bahasa yang merepresentasikan penggunaan bahasa orang lain, penerjemah tidak bisa terlepas dari pengaruh ideologi (Karouby, 1:2008). Posisi penerjemah berada pada ‘antara’. Ia terikat oleh kode etik penerjemahan yaitu impartiality. Dia bertindak netral, tidak memihak ke salah satu pihak yang terlibat dalam proses komunikasi bilingual itu.

Menurut Hoed (2003), ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang ‘benar atau salah’ dalam penerjemahan. sebagian penerjemah menganggap bahwa penerjemahan dikatakan benar bila teks terjemahan telah menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran secara tepat. Kerberterimaan kemudian menjadi sesuatu yang tidak diperhatikan. Sebagian yang lain menganggap teks terjemahan yang benar adalah teks terjemahan dengan keberterimaan yang tinggi, teks terjemahan yang memenuhi kaidah-kaidah bahasa sasaran baik kaidah gramatika maupun kaidah kultural.

Tentu saja apa yang dikatakan benar atau salah dalam penerjemahan bersifat sangat relatif dan berkaitan dengan faktor-faktor yang ada di luar proses penerjemahan itu sendiri. Seorang penerjemah sudah secara tak terhindarkan terikat pada konstruksi ideologis tentang konsep benar dan salah ini. Apakah sebuah terjemahan benar atau salah ditentukan oleh untuk siapa dan untuk tujuan apa suatu terjemahan dilakukan (Hoed, 2003:4)

Keyakinan tentang yang benar dan salah dalam penerjemahan meliputi strategi atau metode yang dilakukan oleh penerjemah yaitu foreignisation dan domestification. Istilah foreignisation dan domestification digunakan untuk merujuk pada metode yang diterapkan oleh penerjemah ketika mentransfer sebuah teks dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain (Mazi-Leskovar, 2003:5).

Ada dua ideologi besar di dalam proses penerjemahan. Yang pertama adalah ideologi yang mengatakan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mengacu pada bahasa sasaran. Jadi, sebuah teks terjemahan dikatakan baik apabila bisa diterima dan dipahami dengan baik oleh pembaca bahasa sasaran. Teks terjemahan tersebut haruslah tidak terdengar seperti teks terjemahan; seakan-akan sebuah karya asli bahasa yang bersangkutan. Ideologi ini disebut lokalisasi atau domestifikasi. Sebaliknya, yang kedua mengatakan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mengacu pada bahasa sumber atau dengan kata lain teks terjemahan yang baik adalah teks terjemahan yang masih mempertahankan bentuk-bentuk bahasa sumber termasuk unsur-unsur kulturalnya. Ideologi ini disebut foreignisasi.

Pada saat seorang penerjemah berhadapan dengan bentuk atau istilah atau apapun dari teks bahasa sumber yang memerlukan pertimbangan khusus apakah ia harus mempertahankan bentuk seperti yang terdapat dalam bahasa sumber karena pertimbangan-pertimbangan tertentu ataukah harus merubah untuk memudahkan pembaca memahami.dengan cara membuat sesuatu yang lebih dekat dengan khalayak pembaca, dia sedang berada pada posisi harus memutuskan apakah domestikasi atau foreignisasi..

Domestikasi

Menurut Mazi-Leskovar (2003), domestifikasi atau lokalisasi mengacu pada semua perubahan pada semua tingkat teks untuk membuat pembaca sasaran yang berasal dari Negara lain atau tinggal di wilayah geografis yang berbeda dengan pengalaman sosiokultural dan latar belakang budaya yang berbeda bisa memahami teks terjemahan dengan baik. Perubahan pada teks terjemahan dengan demikian merupakan suatu hal yang dirasa oleh pengarang sebagai upaya untuk meningkatkat keberterimaan teks

Pada beberapa teks terjemahan novel atau bentuk karya prosa lain, upaya lokalisasi dilakukan antara lain dengan melokalisasi nama-nama tokoh cerita dengan penggunaan nama dengan pengucapan yang lebih mudah diucapkan pembaca. Pada novel Romeo and Juliet, misalnya, pada versi bahasa Indonesia diganti dengan Romi dan Yuli. Perubahan ini tentu dimaksudkan tidak saja agar pembaca Indonesia lebih mudah mengucapkannya, tapi juga agar tokoh-tokoh tersebut terasa lebih dekat dengan kultur pembaca Indonesia. Pada beberapa novel lain bahkan

Pada contoh kasus lainnya, misalnya yang dilakukan oleh penerjemah Slovenia, penerjemah mengubah nama tokoh Tom dengan Tomaz, sebuah nama varian yang terdengar lebih akrab bagi pembaca Slovenian. Penerjemah bahkan melakukan domestikasi dengan memperpendek judul, dan, selain mengubah nama tokoh-tokoh hero yang lain, menghilangkan sebagian informasi yang dianggap terlalu detail bagi rata-rata pembaca dan figure-figur politik yang tidak dikenal oleh khalayak Slovenia (Mazi-Leskovar, 2003:5)

Pada terjemahan karya sastra tertentu, penerjemah bisa menghubungkan isu sebuah peristiwa atau fenomena sosial tertentu dalam teks bahasa sumber ke dalam fenomena yang mirip terjadi di dalam masyarakat pembaca bahasa sasaran. Misalnya kasus perbudakan masyarakat Amerika abad 19 dihubungkan dengan isu perlakuan majikan terhadap buruh. Di sini penerjemah menunjukan bahwa perlakuan buruk para majikan pada buruhnya pada dasarnya adalah sama dengan perbudakan yang terjadi pada masyarakat lain. Pengandaian ini akan membuat pembaca lebih bisa memahami bagaimana situasi masyarakat yang diceritakan di dalam novel dengan membandingkannya dengan situasi riil yang ada dalam kehidupannya. Ini merupakan alat yang ampuh untuk membawa teks terjemahan lebih dekat kepada pembaca target dengan menggambarkan dua situasi yang mirip tapi dengan konteks kultural yang berbeda.

Menurut Mazi-Leskovar (2003) foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah upaya mempertahankan apa yang asing dan tidak lazim pada konteks bacaan pembaca target tapi merupakan hal yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber. Dengan paradigma ini , terjemahan yang bagus adalah terjemahan yang tetap mempertahankan gaya, dan cita rasa kultural bahasa sumber. Kebenaran, menurut paradigma ini, dilakukan dengan mempertahankan apa adanya yang terdapat pada teks bahasa sumber.

Penerjemahan yang ‘benar’, ‘berterima’, dan ‘baik’ adalah yang sesuai dengan selera dan harapan sidang pembaca yang menginginkan kehadiran kebudayaan bahasa sumber (Hoed, 2003:4). Pemakaian kata sapaan system kekerabatan seperti uncle, aunty atau Sir, misalnya, akan membuat pembaca memahami kultur bahasa sumber dan secara tidak langsung telah belajar kultur bahasa sumber ketika membaca karya terjemahan.

Domestifikasi atau lokalisasi, sebaliknya, adalah strategi penerjemahan yag dilakukan ketika istilah asing dan tidak lazim dari teks bahasa sumber akan menjadi hambatan atau kesulitan bagi pembaca bahasa sasaran dalam memahami teks (Mazi-Leskovar, 2003:5). Kesulitan pemahaman pembaca bahasa sasaran bisa diakibatkan oleh perbedaan cara pandang kultur bahasa sasaran dengan cara pandang kultur bahasa sumber maupun pengalaman peristiwa sosial tertentu.

Berikut ini contoh terjemahan sebuah puisi dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris yang diambil dari Machali (2000), sebuah puisi yang menggambarkan situasi pernikahan dengan kultur Jawa. Kita akan melihat bagaimana penerjemah berusaha melokalisasi istilah-istilah dan konsep-konsep kultural khas bahasa Jawa ke dalam bahasa Inggris. Puisi ini karangan Toety Heraty, seorang wanita penyair yang banyak menulis puisi dengan latar belakang kultur Jawa dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John McGlynn.

Surat dari Oslo

…………………………………………………….

lalu kini, siraman air kembang dahulu, midodareni

Sebelum esok menghadap penghulu-

Tarub, janur, gamelan dan gending kebogiro

Penganten bertemu, berlempar sirih, wijidadi,

Sindur ibu, pangkon ayah, dulangan, kacar-kucur

Sesuai adat upacara Jawa.

Aku mohon pada yang Maha Kuasa supaya terkabul semua keinginan mereka, dan …..

Letter from Oslo

…………………………………………………….

And now, the sprinkle of the water from an earthen jug-

Before facing God and his servant tomorrow

The nuptial awning, woven palm leaves, the orchestra

and wedding songs

the bridal couple meets, betel leaves thrown in exchange

a red sash for the bride’s mother , asking father’s blessing,

the ritual exchange of food, symbol of obedience

and property distributed, all in keeping with Javanese tradition

I pray to the Most Power

That all their wishes are granted, and after that ….

(Machali, 2000:186-187)

Pertama, McGlynn berhadapan dengan sebuah istilah dalam ritual pengantin Jawa, siraman air kembang. Frasa ini deterjemahkan menjadi the sprinkle of the water from an earthen jug. Siraman air kembang, dalam ritual pengantin adat Jawa adalah sebuah prosesi memandikan calon pengantin baik mempelai laki-laki maupun perempuan dari pihak keluarga, diawali dari ayah mempelai kemudian ibu dan saudara-saudara tua lainnya. Ritual ini memiliki makna bahwa sebelum menghadapi hidup baru, pasangan pengantin harus berhati bersih dan suci. Kesucian ini disimbolkan dengan air kembang. Pesan ini sepertinya tidak tersampaikan dengan baik pada bahasa sasaran. Dalam teks bahasa sasaran ritul ini hanya digambarkan menyiramkan air dari kendi/jug yang terbuat dari tanah. Teks bahasa sasaran menggambarkan peristiwa ini hanya dari penglihatan yang ditangkap oleh penerjemah. Ini mungkin terjadi karena penerjemah tidak memahami makna sebenarnya dari peristiwa ini atau mungkin juga ia hanya ingin mempermudah pemahaman pembaca.

Berikutnya penerjemah berhadapan dengan istilah gamelan dan gending kebo giro yang ia terjemahkan the orchestra and wedding songs. Gamelan yang merupakan sperangkat alat musik Jawa diterjemahkan menjadi the orchestra. Gamelan adalah perangkat musik sementara orchestra adalah jenis musik. Penerjemah berusaha membuat padanan istilah dalam bahasa Inggris yang mendekati meskipun tidak bisa sama persis. Pada istilah gending kebo giro, penerjemah memakai istilah wedding song, lagu yang dinyanyikan pada prosesi pernikahan dalam kultur barat. Pembaca bahasa Inggris tidak akan memahami bahwa gending kebo giro hanyalah sebuah musik tanpa lagu yang diputar ketika kdua mempelai pengantin Jawa bertemu sebelum menuju perkawinan.

Penjelasan di atas menggambarkan bagaimana karena alasan-alasan tertentu seorang penerjemah berusaha melokalisasi istilah dan konsep yang ada pada teks bahasa sumber ke dalam istilah dan konsep yang lebih dekat dengan pembaca bahasa sasaran, meskipun dengan resiko ada pesan yang menjadi tidak tersampaikan.

Lokalisasi bisa dilakukan untuk memenuhi kaidah sopan santun yang berlaku pasa masyarakat bahasa sasaran. Ada ungkapan-ungkapan tertentu yang kalau diterjemahkan secara harfiah akan menimbulkan ketidakberterimaan secara kultural pada masyarakat bahasa sasaran. Bila seorang penerjemah menjumpai kasus seperti ini, dia harus dengan pandai berusaha mencari padanan terdekat tanpa harus melanggar norma yang dituntut masyarakat bahasa sasaran.

Lokalisasi mungkin juga dilakukan karena alasan politis atau ideologi. Penerjemah kadang karena alasan tertentu atau pesan dari pihak tertentu menggunakan penerjemahan sebagai alat untuk mendukung atau menyampaikan tujuan dari sebuah ideologi yang mereka anut atau yang mereka sukai. Keberadaan ideologi dalam mempengaruhi teks terjemahan dan memberi warna ideologi penganutnya sudah berlangsung lama. Seorang pendukung timor Leste misalkan, apakah mereka akan menyebut pejuang atau separates di dalam teksnya

Foreignisasi

Foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah upaya mempertahankan apa yang asing dan tidak lazim pada konteks bacaan pembaca target tapi merupaka hal yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber (Mazi-Leskovar, 2003:5). Menurut penganut ini, terjemahan yang bagus adalah terjemahan yang tetap mempertahankan gaya, dan cita rasa kultural bahasa sumber. Mempertahankan apa yang terdapat pada teks bahasa sumber adalah symbol ‘kebenaran’ menurut penganut ini.

Berikut sebuah kutipan percakapan dalan novel The Da Vinci Code karya Dan Brown yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Isma B. Koesalamwardi.

BSU

"I'm sorry," Langdon said, "but I'm very tired and"

"Mais, monsieur," the concierge pressed, lowering his voice to an urgent whisper. "Your guest is an important man."

(Dan Brown, The Da Vinci Code, hal 8)

BSA

“Maaf,” ujar Langdon, “Tetapi saya sangat letih dan _”

"Mais, monsieur,” penerima tamu itu memaksa, seraya merendahkan suaranya menjadi bisikan yang mendesak. “Tetapi tamu anda orang penting.”

(Dan Brown, The Da Vinci Code, terjemahan hal16)

Penerjemah berusaha mempertahankan atmosfir dan cita rasa kultural Perancis dalam terjemahan di atas. Penyebutan panggilan khas perancis membuat pembaca berimajinasi bahwa percakapan di atas betul-betul terjadi di sebuah kota di Perancis. Mempertahankan gaya dan cita rasa bahasa sumber tidak saja dimaksudkan untuk memberi informasi kultural kepada pembaca. Bagian yang terdengar asing atau eksotik yang dipertahankan dari teks bahasa sumber ini diharapkan menjadi stimulus bagi pembaca. (Mazi-Leskovar, 2003:5)

Penerjemahan Ideologi

Seorang penerjemah terikat oleh kode etik impartiality. Artinya seorang penerjemah dalam menjalankan profesinya, mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, tidak boleh memihak ke salah satu pihak; penulis atau pembaca, pembicara atau pendengar. Pada teks-teks yang bersifat netral tentu kode etik ini tidak menimbulkan dilemma.

Menurut Karoubi (2008) seorang penerjemah maupun penulis bukanlah individu yang terbebas dari lingkungannya. Seorang penerjemah maupun penulis adalah individu yang terkonstruksi secara sosial dan histories . Dengan demikian penerjemah menginterpretasikan teks dengan cara meletakkan teks tersebut kedalam seting pengetahuan yang pastinya bersifat ideologis. Pengetahuan yang bersifat ideologis ini akan membatasi interpretasinya atas sebuah teks.

Sementara itu, Robinson di dalam Karoubi (2008) menyatakan bahwa penerjemah adalah orang yang perilakunya dikendalikan oleh pengetahuan. Pengetahuan ini dikendalikan oleh norma-norma yang bersifat ideologis. Jika seseorang menginginkan menjadi seorang penerjemah, dia harus mengadopsi peran submisif ini, yaitu peran yang dikendalikanoleh ideologi tertentu.

Ketika teks bahasa sumber mengandung pemahaman atau keyakinan tertentu di dalam interpretasinya, penerjemah secara sadar atau tidak akan ‘terseret’ pada posisi antara mengikuti pemahaman teks tersebut atau ‘membelokkannya’ pada pemahaman atau keyakinannya sendiri. Sebuah teks yang mengandung ideologi yang berseberangan dengan penerjemah atau ideologi teks tersebut tidak berterima pada masyarakat akan cenderung mengalami mediasi. Yaitu memasukan pengetahuaan, ideologi dan keyakinan penerjemah ke dalam teks terjemahan.

Penerjemahan ideologi mengacu pada seberapa jauh mediasi dilakukan oleh seorang penerjemah ketika berhadapan dengan teks sensitif (Hatim dan Munday, 2004:103). Teks dianggap sensitif bila mengandung sebuah ideologi yang menyangkut nilai-nilai dan keyakinan yang dianut sebuah kelompok sosial tertentu. Mediasi menyangkut seberapa jauh penerjemah melakukan intervensi proses transfer, memasukan pengetahuan dan keyakinannya pada proses penerjemahan (Hatim dan Mason, 1997:147).

Venuti dalam Hoed (2003: 5) memberikan contoh terjemahan dari bahasa Latin ke dalam bahasa Inggris di mana penerjemah secara jelas melakukan mediasi. Berikut ini petikan yang diambil dari makalah Hoed (2003).

Teks bahasa latin:

Stipendia prima in Asia fecit Marci Thermi praetoris contubernio; aquo ad accersendam classem in Bithyniam missus desedit apud Nicomeden, non sine rumorem prostratae regi pudicitiae; quem rumorem auxit

Hasil terjemahan (teks bahasa Inggris)

Caesar first saw military service in Asia, where he wentas aide-de-camp to Marcus Thermus, the provincial governor. When Thermus sent Caesar to raise a fleet in Bithynia, he wasted so much time at King Nicomedes court that a homosexual relationship between them was suspected, and suspicion gave place to scandal

Menurut Venuti terjemahan bahasa Inggris tersebut di atas berorientasi pada masyarakat sasaran, masyarakat Inggris, yang homofobia, yang pada zaman itu, tahun1957, masih sangat dominan. Kata rumorem tidak diterjemahkan dengan rumours, tetapi dengan kata yang lebih keras, yakni suspicion [dalam konteks ini, was suspected]. Frase prostratae regi pudicitae alih-alih diterjemahkan dengan surrendered his modesty to the king diberi padanan yang lebih terbuka, yakni homosexual relationship. Kemudian, frase rumorum exit yang berarti the rumour spread diterjemahkan menjadi suspicion gave place to scandal. Venuti menyimpulkan dari contoh terjemahan ini bahwa ada mediasi ke arah domestikasi yang didasari oleh pandangan negatif tentang homoseksualitas (Hoed, 2003:5).

Penjelasan Hoed di atas menunjukan bahwa seorang penerjemah, meskipun terikat kode etik accuracy dan impartiality, tetap menginterverensi karya terjemahannya. Seorang penerjemah, pada contoh kasus di atas yang merupakan bagian dari masyarakat yang homofobia, menghasilkan teks terjemahan yang bersifat homofobia pula. Ini tercermin lewat pilihan kata yang bernada keras (terjemahan rumorem menjadi suspicion bukannya rumours). Secara disadari atau tidak, apa yang dipikirkan penerjemah tentang sesuatu akan menginterferensi hasil penerjemahan. Teks dengan demikian mengalami distorsi.

Penerjemah bahkan memberi penilaian negatif pada apa yang pada teks bahasa sumber menggunakan ungkapan netral. Frase rumorum exit yang berarti the rumour spread diterjemahkan menjadi suspicion gave place to scandall. Tampak penerjemah menggunakan interpretasi personalnya atas sebuah nilai. Teks terjemahan mengalami distorsi nilai.

Menurut Moderea dalam Ben-Ari(2004), yang menggunakan pendekatan post modernisme terhadap penerjemahan, penerjemahan adalah sebuah dialog kreatif antara penerjemah dengan teks bahasa sumber. Di dalam makalahnya "Ideologi, Subversion and the Translator's Voice: A comparative analysis of the French and English translations of Guillermo Cabrera Infante's Tres TristesTigres", ia mengeksplorasi tuntutan dekonstruksionist untuk memandang penerjemahan sebagai dialog kreatif, semacam penulisan kembali. Menurutnya, ada jarak antara pandangan subversif teoritis penerjemahn dengan pandangan yang sebenarnya terhadap teks bahasa sumber.

Pandangan Moderea tentang penerjemahan sebagai dialog kreatif antara penerjemah dengan teks bahasa sumber memberi kita sebuah wawasan bahwa proses penerjemahan adalah hasil sintesis antara apa yang ada di dalam teks itu sendiri dan apa yang ada di dalam benak penerjemah. Lebih jauh lagi kita bisa menyimpulkan bahwa proses mediasi, proses interferensi apa yang diyakini penerjemah terhadap teks terjemahannya, adalah suatu keniscayaan yang tak terhindarkan.

Dua orang pakar dari Ocean University of China (dalam Ben-Ari, 2004), di antaranya Ren Dongsheng melakukan survey comprehensif tentang "Chinese Ideologies and Chinese Bible Translations". Mereka menemukan bahwa pada masa yang berbeda ditemukan terjemahan injil yang berbeda. Ada yang bernada positif dan ada yang bernada negatif dan karena alasan ideologis penerjemah non misionaris ini mengadopsi pendekatan Injil bukan sebagai kitab suci yang sakral tapi hanya sebagai karya sastra biasa. Ren Dongsheng mendapatkan sebuah temuan bahwa keyakinan yang dianut penerjemah akan sangat mewarnai hasil terjemahan. Interferensi keyakinan penerjemah terhadap karya terjemahan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.

Hannah Amit-Kochavi dalam Ben-Ari (2004) dari Beit Berl College, Israel mengamati sebuah usaha naïf untuk “menjembatani konflik” Arab-Israel melalui penerjemahan. Di dalam makalahnya “The ideologi behind translations of Arabic literature into Hebrew”, Amit-kochavi memberikan penjelasan penemuannya tentang periode-periode usaha penerjemahan kesusastraan Arab yang dimotivasi ideologi. Para penerjemah kesusastraan Arab ke dalam bahasa Hebrew ini menggunakan terjemahannya untuk menjustifikasi pendudukan Israel atas tanah Arab. Sebagian penerjemah lainnya, sebaliknya, menggunakan penerjemahan sebagai media rekonsiliasi Arab-Israel. Penerjemahan pada kasus ini sudah memasuki wilayah politik. Penerjemahan dijadikan alat legitimasi atas kekuasaan. Penerjemah lewat ideologi politiknya berusaha “membelokan” pesan teks bahasa sumber untuk sebuah ideologi politik tertentu.

Simpulan

Dari uraian diatas kita bisa menarik simpulan bahwa pada dasarnya ideology penerjemahan dan penerjemahan ideology adalah dua hal yang berbeda. Ideology penerjemahan adalah eyakinan tentang yang benar dan salah dalam penerjemahan meliputi strategi atau metode yang dilakukan oleh penerjemah yaitu foreignisation dan domestification. Penerjemahan ideologi mengacu pada seberapa jauh mediasi dilakukan oleh seorang penerjemah ketika berhadapan dengan teks sensitive Yaitu memasukan pengetahuaan, ideologi dan keyakinan penerjemah ke dalam teks terjemahan.


DAFTAR PUSTAKA

Ben-Ari, Nitsa. 2004. Ideologi and Translation. http://www.inst.at/trans

/16Nr/09_4/ben-ari_bericht16.htm

Brown, Dan. 2003. The Da Vinci Code (Novel). New York: Doubleday.

_________. 2003. The Da Vinci Code (Novel terjemahan). Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta.

Fawcett, Peter 1998. “Strategies on Translation ” in Baker. Encyclopedia of Translation Studies. London& NewYork : Routledge: 107

Hatim, Basil & I Mason. 1997. The Translatoras Communicator. London& NewYork : Routledge.

Hatim, Basil & Jeremy Munday. 2004. Translataion; An Advance resource Book. Guildfork, UK:University of Surrey

Hoed, Benny. 2003. Ideologi dalam Penerjemahan . konas Penerjemahan. Solo

Karoubi, Behrouz. (2008). Ideologi and Translation with a concluding point on translation teaching. TranslationDirectory.com

Larson, Mildred A. 1984. Meaning-Based Translation. Lanham: University Press

of America.

Machali, Rochayah. 2000. Pedoman bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo.

Mazi, Darja. Leskovar. 2003. Domestication and Foreignization in Translating

American Prose for Slovenian Children. Meta Vol XLVIII, 1-2

Suryawinata, Zuchridin & Sugeng Hariyanto. 2003. Translation: Bahasan Teori

dan Penuntun Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius.

Pym, Anthony. 2006. localization in the Perspective of Translation Studies: Overlap in the digital Devide. Meta

3 komentar:

  1. Thanks mas dion..bisa buat pencerahan nich..

    BalasHapus
  2. Terima Kasih Mas Dion, sangat membantu. Sukses selalu..

    BalasHapus
  3. Trimakasih Referensinya :)

    BalasHapus