Sabtu, 10 Oktober 2009

WURYANINGRATAN, Perjalanan Melintasi Waktu





















Berkunjung ke Ndalem Wuryaningratan serasa melakukan perjalanan melintasi waktu. Rumah bangsawan Jawa tempo dulu yang sekarang menjadi bagian dari House of Danar Hadi ini memberi gambaran sangat jelas kepada kita tentang bagaimana bangsawan Jawa memilih gaya hidupnya, menunjukan simbol-simbol status sosialnya dan kiblat kultural mana yang menjadi orientasi kebangsawanannya.

Saya bersama beberapa mahasiswa desain komunikasi visual mengunjungi rumah tua tetapi mewah ini hari Sabtu 10 Oktober kemarin. Kegiatan ini dalam rangka object knowledge untuk materi description. Tentu sekaligus sedikit mendalami sejarah kultural kota Solo, di samping tempatnya memang asik untuk foto-foto. Cocok untuk mengekspresikan hasrat narsis kita.... sambil menyelam minum susu hehehe...

Sama seperti rumah bangsawan Jawa pada umumnya. Nama Wuryaningratan diambil dari nama pemilik asli rumah ini, Pangeran Wuryaningrat, menantu Paku Buwono X. Di Solo kita masih bisa menyaksikan rumah-rumah bangsawan lainnya seperti Ndalem Brotodiningratan, Ndalem Cokrosumartan dan sebagainya meskipun kondisinya tidak seterawat Ndalem Wuryaningratan ini.

Rumah ini dari luar tampak sangat Eropa. Tembok bangunan dengan garis-garis dekoratif mengacu pada gaya klasik Eropa. Taman halaman depan dengan pohon-pohon besar, pohon mangga tali jiwo, mengingatkan kita pada bangunan-bangunan kolonial peninggalan penjajahan Belanda. Konon mangga tali jiwo mangga terenak kala itu sebelum era mangga arum manis dan mana lagi tentu. Rumah tua yang tampak mewah terlihat dari Jalan Slamet Riyadi Solo ini memiliki dua pintu gerbang dengan gaya klasik Eropa juga, di sisi kanan bangunan terdapat beberapa paviliun yang dulunya tempat untuk menyimpan kereta dan kuda milik pangeran Wuryaningrat. Sekarang ini digunakan sebagai pos satpam dan ruang lain. Sementara pada bagian kanan ada sebuah paviliun yang terletak sejajar dengan pusat bangunan, tidak seperti pavilium sebelah kanan. Sayang, pavilion kiri yang konon dulu tempat berkumpul para pendiri Budi Utomo itu kini telah mengalami banyak perubahan dan dialihfungsikan menjadi resto dengan nama Soga Resto and Lounge. Wah yang ini baru. Beberapa kali kunjungan kami sebelumnya belum ada. Paduan masa lalu dan masa kini. Semoga saja pengelolanya pandai-pandai mengerem agar kepentingan komersial ini bisa berdampingan secara harmonis dengan konservasi heritage

Gaya Eropa pada arsitektur rumah bangsawan ini mencerminkan bahwa para bangsawan Jawa termasuk para rajanya, terutama raja-raja Jawa trah Mataram Islam sangat mengacu pada kultur Eropa, tidak seperti raja-raja di Sumatra yang lebih mengacu ke Timur Tengah. Hampir semua raja Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta sebelum masa kemerdekaan menempuh pendidikan di Belanda. Tidak mengherankan kan kalau mereka sangat berorientasi Eropa? Ini sangat terekam dari cara mereka mendesain rumah. Barangkali gaya hidup mereka di masa lalu juga.

Meski dari luar rumah ini berbau Eropa, apabila kita masuk di dalamnya kita akan tahu bahwa tata ruang rumah ini sangat Jawa. Bagian bangunan paling depan berupa pendopo, diawali topengan, tempat turun kereta bagi para tamu agung, sangat khas Jawa, yang berfungsi sebagai ruang publik. Ruang terbuka paling luas dalam tata ruang rumah tradisional Jawa ini biasanya dipakai para priyayi masa lalu ini untuk melangsungkan upacara-upacara ritual kehidupan seperti pesta pernikahan, tetakan/khitanan dan sebagainya. Lain dengan rumah modern yang tidak menyisakan sedikitpun ruang untuk berbagi dengan komunitas sosial di luar mereka. Sayang, di Ndalem Wuryoningratan, pendopo ini sudah ditutup dengan pintu-pintu kaca. ”Biar debu tidak masuk dan mengotori mebel di dalamnya” kata Mas Yanuar, guide kami dalam kunjungan itu. Di samping kanan kiri pendopo ada kamar kecil yang disebut dimpil dalam bahasa Jawa. Ruangan ini biasa digunaakan sebagai ruang tamu atau kantor sang pangeran. Di belakang pendopo terdapat ruang utama yang disebut ndalem ageng. Di sini terdapat krobongan yang merupakan simbol keluarga Jawa yang agraris. Di tempat ini disimpan pusaka keluarga dan patung Loro Blonyo, simbol Dewi Sri. Dewi kesuburan dalam mitologi Jawa. Di samping kanan dan kiri, masih di bangunan utama, terdapat teras atau gandok/nggadri dalam bahasa Jawa. Tempat santai di pagi atau sore hari untuk keluarga bangsawan pada masa itu. Di sebelah kanan dan kiri bangunan utama terdapat deretan bangunan berupa kamar-kamar kecil berjejer. ”Ini tempat dulu para bangsawan itu menyimpan segala macam peralatan upacara seperti gamelan, barang pecah belah dan sebagainya. Tentu jaman itu kan belum ada persewaan alat pesta apa lagi katering hehe”, jelas Bu Asti pada kesempatan kunjungan sebelumnya.

Rumah ini juga dindingnya dipenuhi potret-potret para penghuninya di masa lalu dan keluarga pemiliknya sekarang. Sebuah cara berekspresi khas para bangsawan di manapun untuk menunjukan identitas geneologis mereka. Halaman belakang dan sampingg ndalem yang luas ini juga ditata sangat apik. Katanya sih pemiliknya sendiri yang mendesain landscape ini. Duduk-duduk di kursi teras belakang sambil memandang pohon-pohon mangga tua serasa mengalami de javu masa lalu. Masa ketika bangsawan adalah status sosial yang membanggakan.

Lewat perpaduan dua gaya ini, arsitektur Eropa tata ruang Jawa, bangsawan Jawa seakan ingin mengukuhkan citra dirinya bahwa mereka adalah para priyayi Jawa kalangan atas. Ya, pada waktu itu tentu, jangan-jangan sekarang masih juga, Eropa adalah simbol peradaban yang maju dan acuan identitas yang melekat padanya mencitrakan golongan masyarakat kelas atas. Siapa saja yang ingin dianggap demikian tentu harus mengikuti identitas ini. Ya, samalah seperti kita memakai jeans, mendengarkan musik barat, mengkonsumsi Pizza atau KFC biar kelihatan modern tanpa memahami makna filosofi peradaban yang melekat bersamanya.

Melihat Ndalem Wuryaningratan dan menyusuri ruang-ruang dan lorong-lorong di dalamnya seakan melakukan perjalanan melintasi waktu. Di sana terekam gaya hidup masa lalu lengkap dengan simbol-simbol kebangsawanan serta orientasi mereka atas simbol-simbol status sosial masyarakat Jawa di masa itu. Di balik itu kita juga melihat bagaimana kekinian yang direpresentasikan oleh resto and lounge, sebuah jaman yang ada dibawah pengaruh ideologi besar yang bernama kapitalisme, berkelindan dalam satu ruang yang sama. Soga Resto and Lounge adalah sebuah representasi Jawa masa kini, kehidupan yang sama saja di manapun. Sebuah gaya hidup yang bepusat pada kegiatan mengkonsumsi demi sebuah citra diri. Entah itu kita butuhkan atau sekedar kita inginkan. Nyam nyam nyam... Mari mengunyah masa lalu dalam secangkir capucino di sebuah rumah bangsawan Jawa masa lalu..... Wuryaningratan








1 komentar:

  1. baiq nunik hartatik14 Januari 2014 pukul 17.49

    bagus banget,sy pengen buat rumah model tempo dulu,kayaknya terkesan megah dan mewah.

    BalasHapus