Minggu, 04 Oktober 2009

Karya Ilmiah, Lokalisasi dalam Penerjemahan (Translation)

LOKALISASI DALAM PENERJEMAHAN

Sumardiono, Linguistik Penerjemahan

Abstract

Localization is a part of ideology in translation. Translation is a process of transferring message from one language to another by considering the aspects of accuracy and acceptability. Accuracy tends to the source language while acceptability tends to the target language. Localization is applied in order to make the text closer to the target audience. There are some reasons in applying this strategy

PENGANTAR

Masalah lokalisasi dalam penerjemahan tidak bisa terlepas dari dua ideologi besar dalam penerjemahan yaitu lokalisasi domestifikasi dan foreignisasi. Dalam makalah ini saya ingin membahas bagaimana seorang penerjemah memilih metode lokalisasi. Apa alasan mereka memilih?. Juga akan dibahas sedikit tentang foreignisasi dan lokalisasi untuk menjelaskan kontras di antara keduanya. Karena masalah ini juga berkaitan erat dengan konsep dasar penerjemahan yaitu konsep keakuratan dan keberterimaan, saya mengawali makalah ini dengan konsep keakuratan dan keberterimaan. Untuk memberi penjelasan secara lebih gamblang, pada masing-masing bagian saya menggunakan beberapa contoh kasus yang diambil dari beberapa buku, baik buku yang membahas khusus tentang penerjemahan maupun diambil langsung dari novel asli dan terjemahannya serta sebagian juga diambil dari paper di internet

KEAKURATAN VERSUS KEBERTERIMAAN

Proses penerjemahan selalu berada dalam tarik menarik dua kepentingan utama yaitu keakuratan dan keberterimaan. Dua kutub ini masing-masing mengabdi pada dua kepentingan yang berbeda. Akurasi mengabdi pada kepentingan teks bahasa sumber yaitu makna atau pesan dengan segala aturan dan normanya. Sedangkan keberterimaan mengabdi pada kepentingan teks bahasa sasaran yaitu kaidah gramatika, pilihan kata, dan hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang cultural dan norma atau dengan kata lain berpihak pada audiens teks bahasa sasaran

Sebuah teks terjemahan yang terlalu berkiblat pada teks bahasa sumber akan terdengar asing bagi ‘telinga’ pembaca. Teks akan masih terasa sebuah terjemahan. Pilihan seorang penerjemah untuk berkiblat secara ketat pada teks bahasa sumber bisa jadi merupakan simbol kehati-hatian penerjemah dalam menghadapi informasi yang terdapat pada teks bahasa sumber. Tentu usaha untuk menjaga keakuratan kadang seorang penerjemah perlu sedikit mengorbankan keberterimaan sebuah teks terjemahan. Sebuah resiko yang kadang menyulitkan seorang penerjemah.

Keberterimaan, sebaliknya, mengabdi pada kepentingan teks bahasa sasaran. Bahasa sasaran selalu mempunyai aturan, kaidah gramatika dan pilihan kata yang berbeda dengan bahasa sumber. Menyampaikan informasi secara akurat tetapi dengan tetap patuh pada aturan bahasa sasaran kadang bisa menimbulkan konflik yang serius. Konflik bisa terjadi karena sesuatu yang harus patuh pada bahasa sasaran akan berarti mengesampingkan informasi tertentu pada teks bahasa sumber. Seperti yang dikatakan Hatim dan Munday (2004) tentang konsep unfaithful beauties, yang kira-kira artinya terjemahan yang tampak cantik (berterima) akan cenderung tidak setia (unfaithful), dan sebaliknya terjemahan yang setia (akurat) cenderung terdengar tidak cantik (kurang berterima). Ketika seorang penerjemah menerjemahkan kalimat sederhana di bawah ini misalnya:

  1. I have one brother.
  2. Saya punya seorang saudara laki-laki.
  3. saya punya seorang adik.

Dia berhadapan dengan dua pilihan. Apakah akan lebih memilih keakuratan dan sedikit mengorbankan keberterimaan atau sebaliknya. Jika ia memilih yang pertama, ia akan berusaha mengalihkan semua informasi yang ada pada teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran. Kata “brother” yang mengandung informasi ‘saudara kandung’ dan gender ‘laki-laki’ diterjemahkan secara utuh sehingga kalimatnya berbunyi (2) “Saya punya seorang seorang saudara laki-laki”. Di sini kita melihat informasi teks bahasa sumber di transfer secara utuh ke dalam teks bahasa sasaran. Tidak ada informasi yang tercecer dan tidak terakomodasi dalam teks bahasa sasaran. Keakuratan ini bukannya tanpa resiko. Kesetiaan “berlebihan” pada bahasa sasaran berakibat pada berkurangnya keberterimaan. Kalimat pada contoh (2) terdengar tidak begitu lazim bagi pendengar bahasa Indonesia dan cenderung terdengar seperti sebuah teks terjemahan. Ada informasi yang menurut bahasa Indonesia “tidak penting” tapi disampaikan pada teks terjemahan. Informasi gender pada ujaran dalam bahasa Indonesia ini dianggap tidak terlalu penting sehingga tidak perlu disampaikan secara eksplisit. Mungkin hanya lewat konteks saja seorang pembicara bahasa Idonesia akan mengetahui gender yang sedang ia rujuk.

Kalimat (2) merepresentasikan kalimat yang lebih berterima meskipun menjadi berkurang keakuratannya. Kata ‘adik’ pada kalimat (2) tidak mengandung unsur gender seperti kata ‘brother’ pada teks bahasa sumber. Dan sebaliknya, kalimat (2) meskipun berterima, menjadi berkurang keakuratannya karea ada informasi yaitu informasi gender yang tidak tersampaikan.

Di sini kita melihat bahwa keakuratan dan keberterimaan menjadi dua hal yang kadang sulit untuk didamaikan. Ketika kita mengutamakan keakuratan, kita kadang harus sedikit mengorbankan keberterimaan. Demikian juga sebaliknya. Penerjemah, dengan demikian perlu berhati-hati untuk tidak tergelincir dalam wilayah ekstrim keduanya.

Keberterimaan tidak saja terjadi pada tataran leksikal, gaya pengungkapan juga menentukan apakah sebuah kalimat atau ujaran bisa berterima untuk pendengar teks bahasa sasaran atau tidak. Di bawah ini sebuah puisi oleh Mosby yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang dikutip dari Suryawinata:

Heal my impatient heart

which burns within me like a cancer

Teach me not to be annoyed

by faults which buzz

in my ears as loudly as mosquito’s wings

Help me to love the small, the damaged,

the three-legged dog, without sorrow

Fill me with understanding

as a pear tree fills with wind –

Touch my leaves, let my bloom shake down

and cover those I love with love

Sembuhkan hatiku yang tak sabar

yang membakar dalam diri seperti kangker

Ajari aku untuk tidak merasa jengkel

oleh kesalahan yang mendengung-dengung

dalam telingaku sekeras dengung nyamuk.

Bantu aku untuk mencintai anjing kecil, penyakitan,

yang berkaki pincang, tanpa kesedihan.

Limpahi aku dengan pengertian

seperti halnya pohon pear dimanja angina.

Sentuhlah daun-daunku, biarkan bungaku berjatuhan

Dan melingkupi orang-orang yang aku cintai dengan cinta.

(Suryawinata, 60:2000 )

Kita melihat ada beberapa kalimat yang diterjemahkan secara dinamis dan idiomatis. Kalimat Help me to love the small, the damaged, the three-legged dog, without sorrow digunakan untuk menggambarkan seekor anjing kecil yang malang. Frasa the damaged, the three-legged dog menggambarkan secara lebih detail kemalangan itu. Di sini kita melihat kata damaged yang secara harfiah berarti terluka diterjemahkan menjadi penyakitan. The three-legged yang berarti berkaki tiga diterjemahkan yang berkaki pincang. Ada gaya pengungkapan yang berbeda antara teks bahasa Inggris dan teks bahasa Indonesia.

Penerjemah tampak memilih untuk lebih setia pada bahasa sasaran. Penerjemah memilih ungkapan yang lebih bisa diterima pembaca. Frasa the three-legged dog akan terasa janggal bila diterjemahkan ‘anjing berkaki tiga’, frasa ‘berkaki pincang’ akan lebih mengena bagi pembaca bahasa Indonesia meskipun pada dasarnya kedua ungkapan itu menggambarkan keadaan yang sama. Penerjemah menggunakan prinsip terjemahan harus bisa menyampaikan ide teks bahasa sumber dengan luwes dan mudah dimengerti pembacanya, bukannya kata-katanya (Suryawinata, 2003:61)

Penerjemahan puisi tentu berbeda dengan menerjemahkan jenis teks yang lain di dalam teks puisi tidak hanya pesan yang perlu disampaikan, ada ‘pesan-pesan’ lain yang juga perlu disampaikan. Seorang penerjemah puisi tidak sekedar berusaha keras menyampaikan pesan semantis yang ada dibalik kata-kata tapi ia juga harus memperhatikan sampai sejauh mana kata-kata dalam bahasa sasaran memberi efek yang sepadan dengan kata-kata itu dalam bahasa sumber. Dengan kata lain perlu kesepadanan pragmatic antara kalimat atau ujaran dalam teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran. Pada contoh teks di atas, kalimat Heal my impatient health which burns within me like a cancer diterjemahkan menjadi “Sembuhkan hatiku yang tak sabar yang membakar dalam diri seperti kangker”. Kangker dalam bahasa Inggris diandaikan sesuatu yang membakar. Bagi pembaca bahasa Indonesia, ekspresi figuratif ini terdengar janggal. Kita lebih sering mengandaikan kangker yang menggerogoti tubuh, bukan membakar. Di sini tampak penerjemah lebih setia dengan bentuk dan pilihan kata bahasa sumber. Penerjemahan berdasar bentuk ini berusaha mengikuti bahasa sumber atau disebut juga penerjemahan literal (Larson, 1984:15). Kalimat Heal my impatient health which burns within me like a cancer akan mengena dan memberi efek psikologis yang mirip dengan bahasa sumber atau dengan kata lain menimbulkan illocutionary force yang setara seandainya diterjemahkan menjadi “Sembuhkan hatiku yang tak sabar yang menggerogoti diri seperti kangker”, tanpa harus terlalu setia dengan bentuk bahasa sumbernya . Pilihan kata “menggerogoti” memberi efek psikologis yang lebih mengena bagi pembaca bahasa Indonesia disbanding kata “membakar”. Pilihan kata yang terlalu setia dengan bahasa sumbernya akan mengakibatkan terjemahan terdengar asing (Larson, 1984:15)

Keakuratan dan keberterimaan pada akhirnya merupakan dua kutub yang saling berlawanan yang, meskipun sulit, perlu didamaikan oleh seorang penerjemah. Penerjemah perlu mempertimbangkan kapan saat harus lebih ‘memenangkan’ keakuratan dan kapan harus lebih berpihak pada pembaca atau dengan kata lain lebih mengutamakan keberterimaan. Keberpihakan pada pembaca membuat penerjemah tidak harus mengikuti gaya bahasa teks bahasa sumber dan bahkan kadang menambah dan mengurangi eleman yang tidak begitu penting (Suryawinata, 2003:61). Keberpihakan pada teks bahasa sumber/keakuratan sebaliknya menuntut penerjemah untuk sedikit mengabaikan kenyamanan pembaca dalam menangkap pesan dan lebih mengutamakan menyampaikan seakurat mungkin informasi yang ada pada teks bahasa sumber.

Sampai sejauh mana seorang penerjemah bisa ‘mengabaikan’ keakuratan dan mementingkan keberterimaan? Seorang penerjemah harus pandai-pandai mensiasati kapan dirasa perlu lebih condong pada keberterimaan dan sedikit mengabaikan keakuratan dan sebaliknya.

Lokalisasi/Domestikasi versus Foreignisasi; Ideologi Penerjemah

Istilah foreignisation dan domestification digunakan untuk merujuk pada metode yang diterapkan oleh penerjemah ketika mentransfer sebuah teks dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain (Mazi-Leskovar, 2003:5). Masalah foreignisation dan domestification masuk dalam wilayah ideologi penerjemah

Ideologi, menurut Hoed (2003) adalah suatu prinsip yang dipercayai kebenarannya dalam sebuah komunitas dalam sebuah masyarakat. Ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang ‘benar atau salah’ dalam penerjemahan (Hoed, 2003:1). Ada penerjemah yang menganggap bahwa penerjemahan dikatakan benar apabila telah menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran secara tepat tanpa memperhatikan apakah teks terjemahan berterima dalam bahasa sasaran atau tidak. Sementara ada juga penerjemah yang menganggap teks terjemahan yang benar adalah teks terjemahan yang yeng seberterima mungkin dengan bahasa sasaran.

Menurut Hoed (2003) lagi bahwa apa yang dikatakan benar atau salah dalam penerjemahan bersifat sangat relatif dan berkaitan dengan faktor-faktor yang ada dil uar proses penerjemahan itu sendiri. Lebih jauh Hoed (2003) mengatakan bahwa predikat benar atau salah ditentukan oleh untuk siapa dan untuk tujuan apa suatu terjemahan dilakukan.

Ada dua ideologi besar di dalam proses penerjemahan. Yang pertama adalah ideologi yang mengatakan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mengacu pada bahasa sasaran. Jadi, sebuah teks terjemahan dikatakan baik apabila bisa diterima dan dipahami dengan baik oleh pembaca bahasa sasaran. Teks terjemahan tersebut haruslah tidak terdengar seperti teks terjemahan; seakan-akan sebuah karya asli bahasa yang bersangkutan. Ideology ini disebut lokalisasi atau domestifikasi. Sebaliknya, yang kedua mengatakan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mengacu pada bahasa sumber atau dengan kata lain teks terjemahan yang baik adalah teks terjemahan yang masih mempertahankan bentuk-bentuk bahasa sumber termasuk unsur-unsur kulturalnya. Ideology ini disebut foreignisasi.

Seorang penerjemah pada saat tertentu akan berhadapan dengan bentuk atau istilah atau apapun dari teks bahasa sumber yang kemudian memerlukan pertimbangan khusus apakah ia harus mempertahankan bentuk seperti yang terdapat dalam bahasa sumber karena pertimbangan-pertimbangan tertentu ataukah harus merubah untuk memudahkan pembaca memahami.dengan cara membuat sesuatu yang lebih dekat dengan khalayak pembaca.

Foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah upaya mempertahankan apa yang asing dan tidak lazim pada konteks bacaan pembaca target tapi merupaka hal yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber (Mazi-Leskovar, 2003:5). Menurut penganut ini, terjemahan yang bagus adalah terjemahan yang tetap mempertahankan gaya, dan cita rasa kultural bahasa sumber. Mempertahankan apa yang terdapat pada teks bahasa sumber adalah symbol ‘kebenaran’ menurut penganut ini.

Hoed (2003) dalam makalahnya mengatakan bahwa penerjemahan yang ‘benar’, ‘berterima’, dan ‘baik’ adalah yang sesuai dengan selera dan harapan sidang pembaca yang menginginkan kehadiran kebudayaan bahasa sumber. Pemakaian kata sapaan seperti Mr, Mrs, dan Miss, misalnya akan membuat pembaca memahami kultur bahasa sumber dan secara tidak langsung telah belajar kultur bahasa sumber ketika membaca karya terjemahan.

Berikut sebuah kutipan percakapan dalan novel The Da Vinci Code karya Dan Brown yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Isma B. Koesalamwardi.

BSU

"I'm sorry," Langdon said, "but I'm very tired and"

"Mais, monsieur," the concierge pressed, lowering his voice to an urgent whisper. "Your guest is an important man."

(Dan Brown, The Da Vinci Code, hal 8)

BSA

“Maaf,” ujar Langdon, “Tetapi saya sangat letih dan _”

"Mais, monsieur,” penerima tamu itu memaksa, seraya merendahkan suaranya menjadi bisikan yang mendesak. “Tetapi tamu anda orang penting.”

(Dan Brown, The Da Vinci Code, terjemahan hal16)

Penerjemah berusaha mempertahankan atmosfir dan cita rasa kultural Perancis dalam terjemahan di atas. Penyebutan panggilan khas perancis membuat pembaca berimajinasi bahwa percakapan di atas betul-betul terjadi di sebuah kota di Perancis. Mempertahankan gaya dan cita rasa bahasa sumber tidak saja dimaksudkan untuk memberi informasi kultural kepada pembaca. Bagian yang terdengar asing atau eksotik yang dipertahankan dari teks bahasa sumber ini diharapkan menjadi stimulus bagi pembaca. (Mazi-Leskovar, 2003:5)

Domestifikasi atau lokalisasi, sebaliknya, adalah strategi penerjemahan yag dilakukan ketika istilah asing dan tidak lazim dari teks bahasa sumber akan menjadi hambatan atau kesulitan bagi pembaca bahasa sasaran dalam memahami teks (Mazi-Leskovar, 2003:5). Kesulitan pemahaman pembaca bahasa sasaran bisa diakibatkan oleh perbedaan cara pandang kultur bahasa sasaran dengan cara pandang kultur bahasa sumber maupun pengalaman peristiwa sosial tertentu.

Berikut ini contoh terjemahan sebuah puisi dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris yang diambil dari Machali (2000), sebuah puisi yang menggambarkan situasi pernikahan dengan kultur Jawa. Kita akan melihat bagaimana penerjemah berusaha melokalisasi istilah-istilah dan konsep-konsep kultural khas bahasa Jawa ke dalam bahasa Inggris. Puisi ini karangan Toety Heraty, seorang wanita penyair yang banyak menulis puisi dengan latar belakang kultur Jawa dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John McGlynn.

Surat dari Oslo

…………………………………………………….

lalu kini, siraman air kembang dahulu, midodareni

Sebelum esok menghadap penghulu-

Tarub, janur, gamelan dan gending kebogiro

Penganten bertemu, berlempar sirih, wijidadi,

Sindur ibu, pangkon ayah, dulangan, kacar-kucur

Sesuai adat upacara Jawa.

Aku mohon pada yang Maha Kuasa supaya terkabul semua keinginan mereka, dan …..

Letter from Oslo

…………………………………………………….

And now, the sprinkle of the water from an earthen jug-

Before facing God and his servant tomorrow

The nuptial awning, woven palm leaves, the orchestra

and wedding songs

the bridal couple meets, betel leaves thrown in exchange

a red sash for the bride’s mother , asking father’s blessing,

the ritual exchange of food, symbol of obedience

and property distributed, all in keeping with Javanese tradition

I pray to the Most Power

That all their wishes are granted, and after that ….

(Machali, 2000:186-187)

Pertama, McGlynn berhadapan dengan sebuah istilah dalam ritual pengantin Jawa, siraman air kembang. Frasa ini deterjemahkan menjadi the sprinkle of the water from an earthen jug. Siraman air kembang, dalam ritual pengantin adat Jawa adalah sebuah prosesi memandikan calon pengantin baik mempelai laki-laki maupun perempuan dari pihak keluarga, diawali dari ayah mempelai kemudian ibu dan saudara-saudara tua lainnya. Ritual ini memiliki makna bahwa sebelum menghadapi hidup baru, pasangan pengantin harus berhati bersih dan suci. Kesucian ini disimbolkan dengan air kembang. Pesan ini sepertinya tidak tersampaikan dengan baik pada bahasa sasaran. Dalam teks bahasa sasaran ritul ini hanya digambarkan menyiramkan air dari kendi/jug yang terbuat dari tanah. Teks bahasa sasaran menggambarkan peristiwa ini hanya dari penglihatan yang ditangkap oleh penerjemah. Ini mungkin terjadi karena penerjemah tidak memahami makna sebenarnya dari peristiwa ini atau mungkin juga ia hanya ingin mempermudah pemahaman pembaca.

Berikutnya penerjemah berhadapan dengan istilah gamelan dan gending kebo giro yang ia terjemahkan the orchestra and wedding songs. Gamelan yang merupakan sperangkat alat musik Jawa diterjemahkan menjadi the orchestra. Gamelan adalah perangkat musik sementara orchestra adalah jenis musik. Penerjemah berusaha membuat padanan istilah dalam bahasa Inggris yang mendekati meskipun tidak bisa sama persis. Pada istilah gending kebo giro, penerjemah memakai istilah wedding song, lagu yang dinyanyikan pada prosesi pernikahan dalam kultur barat. Pembaca bahasa Inggris tidak akan memahami bahwa gending kebo giro hanyalah sebuah musik tanpa lagu yang diputar ketika kdua mempelai pengantin Jawa bertemu sebelum menuju perkawinan.

Penjelasan di atas menggambarkan bagaimana karena alasan-alasan tertentu seorang penerjemah berusaha melokalisasi istilah dan konsep yang ada pada teks bahasa sumber ke dalam istilah dan konsep yang lebih dekat dengan pembaca bahasa sasaran, meskipun dengan resiko ada pesan yang menjadi tidak tersampaikan.

Bagaimana dan Mengapa Penerjemah Melakukan Lokalisasi?

Menurut Mazi-Leskovar (2003), domestifikasi atau lokalisasi mengacu pada semua perubahan pada semua tingkat teks untuk membuat pembaca sasaran yang berasal dari Negara lain atau tinggal di wilayah geografis yang berbeda dengan pengalaman sosiokultural dan latar belakang budaya yang berbeda bisa memahami teks terjemahan dengan baik. Perubahan pada teks terjemahan dengan demikian merupakan suatu hal yang dirasa oleh pengarang sebagai upaya untuk meningkatkat keberterimaan teks

Pada beberapa teks terjemahan novel atau bentuk karya prosa lain, upaya lokalisasi dilakukan antara lain dengan melokalisasi nama-nama tokoh cerita dengan penggunaan nama dengan pengucapan yang lebih mudah diucapkan pembaca. Pada novel Romeo and Juliet, misalnya, pada versi bahasa Indonesia diganti dengan Romi dan Yuli. Perubahan ini tentu dimaksudkan tidak saja agar pembaca Indonesia lebih mudah mengucapkannya, tapi juga agar tokoh-tokoh tersebut terasa lebih dekat dengan kultur pembaca Indonesia. Pada beberapa novel lain bahkan

Pada contoh kasus lainnya, misalnya yang dilakukan oleh penerjemah Slovenia, penerjemah mengubah nama tokoh Tom dengan Tomaz, sebuah nama varian yang terdengar lebih akrab bagi pembaca Slovenian. Penerjemah bahkan melakukan domestikasi dengan memperpendek judul, dan, selain mengubah nama tokoh-tokoh hero yang lain, menghilangkan sebagian informasi yang dianggap terlalu detail bagi rata-rata pembaca dan figure-figur politik yang tidak dikenal oleh khalayak Slovenia (Mazi-Leskovar, 2003:5)

Pada terjemahan karya sastra tertentu, penerjemah bisa menghubungkan isu sebuah peristiwa atau fenomena social tertentu dalam teks bahasa sumber ke dalam fenomena yang mirip terjadi di dalam masyarakat pembaca bahasa sasaran. Misalnya kasus perbudakan masyarakat Amerika abad 19 dihubungkan dengan isu perlakuan majikan terhadap buruh. Di sini penerjemah menunjukan bahwa perlakuan buruk para majikan pada buruhnya pada dasarnya adalah sama dengan perbudakan yang terjadi pada masyarakat lain. Pengandaian ini akan membuat pembaca lebih bisa memahami bagaimana situasi masyarakat yang diceritakan di dalam novel dengan membandingkannya dengan situasi riil yang ada dalam kehidupannya. Ini merupakan alat yang ampuh untuk membawa teks terjemahan lebih dekat kepada pembaca target dengan menggambarkan dua situasi yang mirip tapi dengan konteks kultural yang berbeda.

Pada sebuah contoh percakapan dua tokoh novel terjemahan dari novel asli berbahasa Inggris yang diterbitkan di Slovenia (diambil dari Mazi-Leskovar) penerjemah berusaha melokalisasi topic percakapan.

Versi bahasa Inggris

“You know, John, that I don’t know anything about politics, but I know that I must feed the hungry, clothe the naked, and comfort the desolate.”

Versi Slovenia (Back translation)

“Now, John, I don’t know anything about politics, but I can read myBible; and there I see that I must feed the hungry, clothe the naked, and comfort the desolate; and that Bible I mean to follow.”

(dikutip dari Mazi-Leskovar, 2003:9)

Contoh di atas menunjukan bagaimana penerjemah menambahkan unsur-unsur relijiusitas pada teks terjemahannya untuk melokalisasi atmosfir percakapan. Penambahan kata Bible pada percakapan membuat tokoh tokoh dalam cerita nampak relijius sesuai tuntutan masyarakat pembaca

Lokalisasi bisa dilakukan untuk memenuhi kaidah sopan santun yang berlaku pasa masyarakat bahasa sasaran. Ada ungkapan-ungkapan tertentu yang kalau diterjemahkan secara harfiah akan menimbulkan ketidakberterimaan secara cultural pada masyarakat bahasa sasaran. Bila seorang penerjemah menjumpai kasus seperti ini, dia harus dengan pandai berusaha mencari padanan terdekat tanpa harus melanggar norma yang dituntut masyarakat bahasa sasaran.

Di bawah ini contoh kasus yang diambil dari Suryawinata:

Versi bahasa Inggris

………………………………………………………………

I was the only guy in the top ten who was not Jewish. (And any one who says it doesn’t matter is full of it). Christ, there are dozens of frms who will kiss the ass of a WASP who can merely pass the bar. …….

Versi bahasa Indonesia

……………………………………………………………

Aku satu-satunya orang dalam sepuluh besar yang bukan Yahudi.(Dan siapapun yang berkata kalau itu tidak berpengaruh, sebaiknya diam saja). Ada lusinan biro hukum yang mau melakukan apa saja untuk memperoleh WASP yang lolos dengan nilai pas-pasan

(Suryawinata, 63:2000)

Pada contoh di atas penerjemah berusaha memperhalus ungkapan kiss the ass dengan ungkapan yang lebih bisa diterima menurut sopan santun masyarakat Indonesia, ‘mau melakukan apa saja’. Sebenarnya ada ungkapan yang lebih dekat yaitu ‘menjilat pantat’, tetapi mungkin penerjemah memandangnya masih terlalu kasar (Suryawinata, 65:2000).

Di sini, juga kita bisa melihat bahwa proses lokalisasi yang dimaksudkan untuk membuat teks terjemahan lebih bisa diterima oleh khalayak pembaca berkaitan dengan nilai-nilai kesopanan dan nilai-nilai budaya lainnya, kadang membuat pesan emosiaonal atau makna ekspresif tidak tersampaikan. Seperti yang disampaikan oleh Pym (2006) bahwa selalu ada bagian yang hilang ketika seorang penerjemah membuat proses lokalisasi.

Lokalisasi mungkin juga dilakukan karena alasan politis atau ideologi. Penerjemah kadang karena alasan tertentu atau pesan dari pihak tertentu menggunakan penerjemahan sebagai alat untuk mendukung atau menyampaikan tujuan dari sebuah ideology yang mereka anut atau yang mereka sukai. Keberadaan ideologi dalam mempengaruhi teks terjemahan dan memberi warna ideologi penganutnya sudah berlangsung lama. Seorang pendukung timor Leste misalkan, apakah mereka akan menyebut pejuang atau separates di dalam teksnya

Menurut Fawcett (1998) selama berabad-abad baik lembaga atau perorangan telah menerapkan keyakinan mereka pada teks terjemahan yang mereka produksi. Di sini Fawceet memberi gambaran bahwa apa yang diyakini seorang penerjemah, entah itu keyakinan yang berkaitan dengan ideology maupun keyakinan yang berkaitan dengan pandangan politik tertentu akan secara sadar atau tidak mewarnai teks terjemahannya.

Kita menjadi tahu bahwa apakah sebuah penerjemahan dianggap baik atau tidak tergantung pada untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan itu dilakukan (Hoed, 2003:15).

Pada akhirnya pilihan penerjemah untuk melakukan lokalisasi merupakan sebuah strategi yang dilakukan oleh penerjemah untuk melakukan pendekatan teksnya kepada pembaca bahasa target dengan menggunakan bahasa, istilah maupun deskripsi yang dekat dan lazim dengan masyarakat bahasa target. Tapi, ia tentu akan dibatasi oleh tanggung jawab etika sebagai seorang penerjemah yang bertanggung jawab terhadap keakuratan sekaligus keberterimaan sebuah teks terjemahan.

Penutup

Ketika berhadapan dengan teks atau istilah atau konsep yang sulit ditemukan padanannya dalam bahasa sasaran, seorang penerjemah mempunyai dua pilihan. Apakah ia akan mempertahankan seperti bentuk aslinya dalam bahasa sumber yang dengan begitu dia mempertahankan keakuratan teks atau ia berusakha menggunakan sesuatu yang sudah dikenali oleh pembaca meskipun dengan resiko keakuratan penerjemahan menjadi berkurang

Ada berbagai alasan kenapa seorang penerjemah melakukan lokalisasi bisa karena alas an agar teks terjemahan lebih mudah dipahami oleh khalayak pembaca. Bisa juga seorang penerjemah melakukan strategi lokalisasi karena alasan nilai-nilai kultural, misalnya karena alasan kesopanan bahasa sasaran yang tidak memungkinkan penerjemah menerjemahkan teks bahasa sumber secara apa adanya, tapi harus memperhalusnya dengan ungkapan local yang lebih diterima. Alasan lain yang melatarbelakangi proses lokalisasi adalah alas an ideologi atau alasan politik. Ideology dan politik yang diyakini penerjemah akan ikut mempengaruhi hasil terjemahannya.


DAFTAR PUSTAKA

Brown, Dan. 2003. The Da Vinci Code (Novel). New York: Doubleday.

_________. 2003. The Da Vinci Code (Novel terjemahan). Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta.

Fawcett, Peter 1998. “Strategies on Translation ” in Baker. Encyclopedia of Translation Studies. London& NewYork : Routledge: 107

Hatim, Basil & Jeremy Munday. 2004. Translataion; An Advance resource Book. Guildfork, UK:University of Surrey

Hoed, Benny. 2003. Ideologi dalam Penerjemahan . konas Penerjemahan. Solo

Larson, Mildred A. 1984. Meaning-Based Translation. Lanham: University Press

of America.

Machali, Rochayah. 2000. Pedoman bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo.

Mazi, Darja. Leskovar. 2003. Domestication and Foreignization in Translating

American Prose for Slovenian Children. Meta Vol XLVIII, 1-2

Suryawinata, Zuchridin & Sugeng Hariyanto. 2003. Translation: Bahasan Teori

dan Penuntun Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius.

Pym, Anthony. 2006. localization in the Perspective of Translation Studies: Overlap in the digital Devide. Meta

4 komentar:

  1. Nama : Alvani Omegawati
    NIM : 08520042

    Pertanyaan :
    Mengapa Penerjemah Harus memperhatikan bahasa asal dan Bahsa sumber?

    KarenaPenerjemah berusaha menjembatani gap kultural antara dua dunia
    dan membuat sebuah komunikasi memungkinkan
    terjadi di antara dua komunitas bahasa yang berbeda
    Kesulitan pemahaman pembaca bahasa sasaran bisa diakibatkan
    oleh perbedaan cara pandang kultur bahasa sasaran dengan
    cara pandang kultur bahasa sumber maupun pengalaman peristiwa sosial tertentu.
    Foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah upaya mempertahankan apa yang asing
    dan tidak lazim pada konteks bacaan
    pembaca target tapi merupaka hal yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber
    Seorang penerjemah pada saat tertentu akan berhadapan dengan bentuk atau istilah atau
    apapun dari teks bahasa sumber yang kemudian memerlukan pertimbangan khusus apakah ia
    harus mempertahankan bentuk seperti yang terdapat dalam bahasa sumber karena
    pertimbangan-pertimbangan tertentu ataukah harus merubah untuk memudahkan pembaca memahami.
    dengan cara membuat sesuatu yang lebih dekat dengan khalayak pembaca

    BalasHapus
  2. nama:kahar
    nim : c0396007

    sgt membantu. thnks

    BalasHapus
  3. Sepertinya tulisan ini menyamakan "lokalisasi" dengan "domestikasi" yang menurut saya sebenarnya berbeda. Judul yang tepat untuk tulisan ini seharusnya "Domestikasi dalam Penerjemahan".

    BalasHapus